Kamis, 06 Juni 2013

Nama : Pramita Prasetyaningrum Kelas : 4 EA17 NPM : 14209386 Tugas soft skill Inggris Bisnis 2


Nama          : Pramita Prasetyaningrum
Kelas          : 4 EA17
NPM           : 14209386
Tugas soft skill Inggris Bisnis 2


A. Question Tags (Pertanyaan Tegas)

Question Tags (Pertanyaan Tegas) adalah suatu pertanyaan  pendek di akhir kalimat pernyataan yang berfungsi untuk mempertegas pernyataan yang bersangkutan.

Fungsi Question Tags (Pertanyaan Penegas)

Pada umumnya Question Tags berfungsi untuk meminta penegasan dari pendengar tentang sesuatu yang belum begitu meyakinkan pembicara atau dapat dikatakan untuk meminta persetujuan dari pendengar atas pernyataan yang diucapakan. 

Contoh kalimat Question Tags :
1.  He is a teacher, isn’t he?
2. She is a flight attendant, isn't she? 
3. Sultan went to school by bike, is not it?
4. Mother go to Semarang, isn't she?
5. He's never been to Europe, does he? Rudi's here, is not it?
6.  You like milk, isn't it? 
7. She can not sing, is not it? 
8. Mahes a chef, right? It is a group winners lilies, is not it?
9. She has naver go to bali, does she?
10. I'am a secretary, aren't it?


B. Conditional Sentence (Kalimat Pengandaian) 

Conditional Sentence (Kalimat Pengandaian) dalam bahasa inggris selalu berbentuk kalimat majemuk (compound sentence), yaitu kalimat yang terdiri atas Main Clause (Induk Kaimat) dan Subordinate Clause (Anak Kalimat). Pada bentuk conditional sentence ini antara induk kalimat dengan amak kalimat dihubungkan dengan “ if (jika) ”.

Main clause (induk kalimat) adalah bagian dari kalimat majemuk yang dapat berdiri sendiri serta memiliki arti yang lengkap jika berpisah dari bagian yang lain dalam kalimat majemuk.

Sedangkan Subordinate Clause (anak kalimat) adalah bagian dari kalimat majemuk yang tidak dapat berdiri sendiri seandainya berpisah dari bagian yang lain dalam kalimat majemuk.

Contoh kalimat Conditional Sentence : 
1. If Santi were here now, he would help cook
2. I would come if the work has been completed
3. They will be too late if they do not leave now 
4. He will stay at the home of his aunt when she went to Aceh
5. If I was not breakfast, my concentration a little disturbed 
6. If they study hard they will pass the exam 
7. If this task has been completed I will be on vacation to bali
8. If I call her brother would soon pick me
9. If I had enough money, I would buy a new car.
10.  If Doni had studied hard, he would have graduated from SMP




C. Adjective & Adverb

Adjective (kata sifat) adalah kata yang digunakan untuk memberi sifat pada kata benda. Tiap kata sifat mempunyai kekuatan yang bersifat membatasi, dan kata sifat itu boleh diberikan definisi sebagai kata yang digunakan untuk mebatasi pemakaian kata benda.

Contoh kalimat Adjective : 
1. She  was a popular singer
2. I’ve got a new car
3.  This is a beautiful cat
4. She has three cute puppies.
5. I’m really happy today.
6. She’s got a new job so she help the family finances
7. You look wonderful
8. This pasta tastes delicious.
9. This is a beautiful flower
10. She’s an excellent dancer


Adverb (kata keterangan) merubah kata kerja, yakni kata keterangan menjelaskan bagaimana sesuatu dilakukan.

Contoh kalimat adverb : 
 1. Teachers teach it difficult to be simple
2. He works happily every day.
3. He learns quickly.
4. She plays the piano well.
5. She’s an incredibly talented girl.



D. So & Such 

Penggunaan So & Such

So ditempatkan setelah adjective (kata sifat), adverb (kata keterangan), atau noun phrase yang diawali dengan determiner many, much, few, dan little.

Such diikuti oleh singular noun dengan artikel a atau plural noun.


Contoh kalimat : 
1. I never knew you so many barbie collection 
2. The music was so good to hear
3.  They are so creative and active
4. They discussed such a hot issue
5. I want to share so many stories
6. They discussed such a hot issue.
7. The man carried such heavy suitcases.
8. The little girl was crying so loudly that the pedestrians stared at her.
9. She is so generous that the poors love her.
10. I want to share so many stories.


E. Yes-No Question

Yes-No question adalah pertanyaan yang membutuhkan jawaban yes (ya) atau no (tidak).

Contoh kalimat : 
1. Can’t he drive a car? 
2. Didn’t you see my smartphone?
3. Is she visiting Bandung?
4. Have they finished the homework?
5. Will my sister be cooking fried rice?
6. Has Tony been working all day long?
7. Does she go to library every night?
8. Are they student?
9. Andi should steal the money? whether 
10. He could accomplish that task?


F.  Little & a little 

 A Little
        Kata ini dipakai untuk benda yang tidak bisa dihitung, seperti gula (sugar), garam (salt), air (udara), money (uang), water (air), dll. Kata a little mempunyai makna positif, dengan kata lain makna positif ini berarti si pembicara merasa puas, merasa cukup atas benda yang mengikuti sesudah kata a little tersebut.
Little
        Perlu diketahui bahwa a little dan little itu berbeda, walau dalam bahasa Indonesia kita terjemahkan dengan kata yang sama yaitu 'sedikit' akan tetapi mempunyai makna yang berbeda. Di atas telah dijelaskan bahwa a little mempunyai makna positif dan  little mempunyai makna negatif.

Contoh kalimat : 
1. I have a little orange juice.
2. father set up a littel bicycle to gift sister
3. There is a little milk in the refrigerator
4. I have a little sugar to your tea.
5. She drink little hot chocolate
6. You have a little flour.
7. You have a little water.
8. She buy little bag for coins
9. He need little air for balloon
10. I set up a little money to pay for transport


G. Few & a few

Few
Few sama halnya dengan little, few mepunyai makna negatif.

A Few
Kata ini kebalikan dari a little, jika a little untuk benda yang tidak bisa dihitung, a few untuk benda yang bisa dihitung atau countable nouns. 

Contoh kalimat : 
1. I have a few oranges in the refrigerator
2. I have a few novels
3.I have few in the refrigerator”
4. She buy few bags 
5. Ratna has few cats 
6. Verrel has few some toys 
7. Ulfah has few options of shoes
8. Do you have a few bags?
9. You have a few piano
10. I only have a few snack


H. Because & because of
Because dan because of digunakan sebagai frasa alasan atau sebab. ada perbedaan di antara keduanya:
o   because adalah kata sambung, dan diikuti oleh 'subyek' beserta 'kata kerja'. perhatikan bahwa 'because' langsung diikuti 'he' sebagai subyek dan 'feels' sebagai kata kerja.
o   because of adalah kata depan, karenanya diikuti dengan kata/frasa benda atau kata kerja bentuk -ing.

Contoh kalimat : 
1. He sat down because he was tired
2. I'm late to school because I stay up all night
3. I have a good digestion because I like to consume fruits and vegetables
4. I've failed the test because I didn't study before
5. The camping is canceled because of the rain
6. I missed the flight because I was late
7. The house is smells stink because of the dead rat
8. We decided to stay at home because of the weather
9. He was absent from class because of his cold
10.  The World Trade Center fell down because it was attacked by terrorists


I.   Enough
Enough merupakan adverb of degree yang berarti “sampai batas yang dibutuhkan”.
Enough ditempatkan setelah adjective (kata sifat) atau adverb (kata keterangan).

Contoh kalimat : 
1. Mitha doesn't work hard enough
2. Do you train enough?
3. This mango is sweet enough to eat
4. The stamp is enough for us
5. Enough with the laziness
6. Do you put enough salt on the soup?
7. Sultan is old enough to sleep alone
8. That man is strong enough
9. Mahes reads enough
10. Ghani brings enough candy for everyone in class

Jumat, 31 Mei 2013

PERJUANGAN BURUH MENUJU PERUBAHAN


PERJUANGAN BURUH MENUJU PERUBAHAN

TUGAS SOFTSKILL PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
“PENDAHULUAN”



                        Nama              : Pramita Prasetyaningrum
                        NPM               : 14209386
                        Jurusan          : Manajemen
                        Dosen  :
Logo GunaDarma











FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS GUNADARMA
JAKARTA
2013




BAB I
PENDAHULUAN


Buruh, Pekerja, Tenaga Kerja atau Karyawan pada dasarnya adalah manusia yang menggunakan tenaga dan kemampuannya untuk mendapatkan balasan berupa pendapatan baik berupa uang maupun bentuk lainya kepada Pemberi Kerja atau Pengusaha atau majikan.

Pada dasarnya, buruh, Pekerja, Tenaga Kerja maupun karyawan adalah sama. namun dalam kultur Indonesia, "Buruh" berkonotasi sebagai pekerja rendahan, hina, kasaran dan sebagainya. sedangkan pekerja, Tenaga kerja dan Karyawan adalah sebutan untuk buruh yang lebih tinggi, dan diberikan cenderung kepada buruh yang tidak memakai otot tapi otak dalam melakukan kerja. akan tetapi pada intinya sebenarnya keempat kata ini sama mempunyai arti satu yaitu Pekerja. hal ini terutama merujuk pada Undang-undang Ketenagakerjaan, yang berlaku umum untuk seluruh pekerja maupun pengusaha di Indonesia.

Buruh dibagi atas 2 klasifikasi besar:
·               Buruh profesional - biasa disebut buruh kerah putih, menggunakan tenaga otak dalam bekerja
·               Buruh kasar - biasa disebut buruh kerah biru, menggunakan tenaga otot dalam bekerja

Buruh pada saat ini di mata masyarakat awam sama saja dengan pekerja, atau tenaga kerja. Padahal dalam konteks sifat dasar pengertian dan terminologidiatas sangat jauh berbeda. Secara teori, dalam kontek kepentingan, didalam suatu perusahaan terdapat 2 (dua) kelompok yaitu kelompok pemilik modal (owner) dan kelompok buruh, yaitu orang-orang yang diperintah dan dipekerjanan yang berfungsi sebagai salah satu komponen dalam proses produksi.

Dalam teori Karl Marx tentang nilai lebih, disebutkan bahwa kelompok yang memiliki dan menikmati nilai lebih disebut sebagai majikan dan kelompok yang terlibat dalam proses penciptaan nilai lebih itudisebut Buruh. Dari segi kepemilikan kapital dan aset-aset produksi, dapat kita tarik  benang merah, bahwa buruh tidak terlibat sedikitpun dalam kepemilian asset, sedangkan majikan adalah yang mempunyai kepemilikan aset. Dengan demikian seorang manajer atau direktur disebuah perusahaan sebetulnya adalah buruh walaupun mereka mempunyai embel-embel gelar keprofesionalan.

Buruh berbeda dengan pekerja. Pengertian pekerja lebih menunjuk pada proses dan bersifat mandiri. Bisa saja pekerja itu bekerja untuk dirinya dan menggaji dirinya sendiri pula. Contoh pekerja ini antara lain Petani, nelayan, dokter yang dalam prosesnya pekerja memperoleh nilai tambah dari proses penciptaan nilai tambah yang mereka buats endiri. Istilah tenaga kerja di populerkan oleh pemerintah orde baru, untuk menggantikata buruh yang mereka anggap kekiri-kirian dan radikal.

Untuk memperoleh pengertian yang jelas tentang bias atau tidak nya seseorang yang bukan pekerja / buruh untuk menjadi anggota atau pemimpin. Dalam Serikat Pekerja/Buruh maka harus dilihat batasan istilah pekerja/buruh dan Serikat Pekerja/Buruh dalam peraturan perundang-undangan kita. Batasan istilah buruh/pekerja diatur secara jelas dalam Pasal 1 angka 2 UU Nomor 13Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi:
” Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain







BAB II
PEMBAHASAN

Membentuk Serikat buruh adalah bagian dari hak buruh yang tertuang dalam undang-undang ketenagakerjaan, ketika suara hati para buruh tersumbat oleh sistem manajemen imperialis kapitalis, terkerangkeng dalam kurungan serikat buruh yang semu penuh kemunapikan. Buruh terpuruk mengelus dada, disinilah Serikat Buruh sejati dinanti.

Serikat Buruh yang semu hanya bekerja untuk keuntungan pribadinya, dengan nama dan lambang organisasi sekedar simbolisasi semata, tanpa implementasi aksi yang pasti, yaitu berjuang atas nama buruh, melawan tirani manajemen kapitalis imperialis penindas.

Ketika Buruh berteriak dengan suara lantang, menyuarakan suara hatinya yang terhimpit beban ketidak adilan, maka serikat buruh yang semu bekerja seperti polisi intel mencari mangsa, setelah itu terdengar buruh-buruh yang suaranya vokal di Pehaka. Dengan form mengundurkan diri tanpa paksaan.

Serikat buruh seperti ini biasanya hanya dipasang sebagai syarat pelengkap, bumbu pemanis dan tameng penutup kebijakan manajemen cerdas yang menindas.

Jika Serikat buruh yang anda ikuti seperti itu tinggalkanlah, Serikat buruh semua hadir hanya sebagai benalu berjaket simbolisasi serikat pekerja, dalam tindakannya bekerja sebagai serikat pengusaha yang menipu, menggiring anda jadi buruh manut dan berlutut, takut, bermental patalistik ( menyerah pasrah dg keadaan buruk tanpa usaha ). Padahal muka bumi ini luas.

Kondisi buruk ini diperparah oleh para buruh penjilat, yang mencari popularitas dan kedudukan, atau sekedar mempertahankan jabatan, atas nama jabatan ia bertindak semena-mena, ia tidak sadar jabatan itu sementara, ia lupa hidup itu sementara.

Persoalan besar yang mengharu-biru perburuhan di Tanah Air, tidak selalu bertitik tolak dari Hubungan-hubungan eksploitatif buruh oleh majikan. Disimak sepintas lalu pergolakan kaum buruh menuntut kesejahteraan bermula dari tidak adanya “pertobatan” kalangan majikan. Karena itu pula, sang majikan tampak mencolok sebagai aktor antagonis yang tidak pernah merasa bersalah tatkala mengeksploitasi buruh. Potret majikan demikian itu tampak terang benderang oleh bombardir pernyataan tokoh-tokoh buruh nasional. Tetapi, dalam kenyataan sesungguhnya, masalah perburuhan tidak selinear itu. Problema perburuhan tidak melulu dihentikan oleh distorsi secara vis-à-vis buruh versus majikan. Manakala ditilik secara saksama, ada sementara korporasi yang mengusung cita-cita menyejahterakan buruh. Hanya saja, cita-cita tersebut kandas oleh terlampau kuatnya tantangan yang datang dari lingkup eksternal korporasi.

Bagi yang berdiri di luar gelanggang konflik perburuhan, tidak terelakan jika kemudian terjebak ke dalam simplifikasi pemahaman. Konflik perburuhan dimengerti dalam spektrum sempit korporasi. Konflik perburuhan pun cenderung diasumsikan sebagai masalah internal korporasi. Padahal, korporasi di Indonesia bukanlah realitas atomistik, dan karena itu rentan dari pengaruh eksternalitas. Pola kerja korporasi justru tidak steril dari pengaruh faktor-faktor eksternal yang diskonfiguratif (baca:merusak). Dengan demikian, korporasi beroperasi dengan memikul beban eksternalitas yang diskonfiguratif. Tidak mengherankan jika eksternalitas itu malah berkorelasi negatif dengan keniscayaan terciptanya keunggulan kompetitif korporasi.


2.1.      Mangsa dan Pemangsa

Fakta menunjukan, entitas-entitas bisnis di berbagai penjuru, Nusantara merupakan domain terjadinya pemerasan oleh aparat Negara. Rupanya, telah sedemikian rupa muncul persepsi umum di kalangan aparat negara, bahwa entitas-entitas bisnis merupakan sumber finansial yang subur. Sejalan dengan orientasi feodalistik dalam menggerakkan roda kekuasaan di berbagai tingkatan tata kelola negara, sumber finansial tersebut diskenariokan agar sewaktu-waktu bisa ”diotak-atik”. Maka, dengan berbagai dalih, aparat negara tidak habis-habisnya memberlakukan Pungutan Liar (Pungli), dengan entitas-entitas bisnis sebagai korbannya. Oknum pemerintahan, terus-menerus mencari celah untuk memosisikan diri sebagai obyek penderita aksi-aksi pungli. Situasi menjelang Idul Fitri atau saat-saat menjelang peringatan HUT Kemerdekaan merupakan peluang emas bagi oknum aparat negara untuk melakukan pungli apa yang kemudian penting dicatat demikian ialah hubungan mangasa dan pemangsa. Dari generasi ke generasi, aparat negera memosisikan diri sebagai pemangsa. Sementara, korporasi - korporasi disudutkan sebagai mangsa. Apa yang sejak awal dekade 1980-an ditengarai sebagai ekonomi biaya tinggi (high-cost economy) sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari hubungan mangsa dan pemangsa itu. Tragisnya lagi, dana yang berhasil dikeruk dari korporasi mengalir ke kantong - kantong pribadi aparat negara. Begitulah hingga kekuasaan politik di Indonesia berada di bawah pengendalian Orde Reformasi, relasi mangsa - pemangsa itu tidak dapat diamputasi. Sebagai bangsa, kita terjebak ke dalam karma penuh kutukan. Pungli kemudian menstimuli lahirnya habitus yang menggeser hakikat aparat negara dari semula pamong praja untuk kemudian merosot sakadar menjadi pangreh praja. Bangsa ini lantas diperhadapkan dengan masalah besar premanisme berkedok aparat negara.

Pada titik di mana hubungan mangsa dan pemangsa menggelembungkan biaya produksi ekonomi, korporasi - korporasi lalu harus mengambil sebuah penyikapan yang tidak manusiawi. Budget korporasi yang secara prinsipil dimaksudkan menyejahterakan buruh, pada akhirnya digerus untuk melayani aparat negara yang bangga bermahkotakan pungli. Munculnya berbagai konflik perburuhan setiap tahun yang dipicu tidak terbayarkannya Tunjangan Hari Raya (THR) menjelang perhelatan Idul Fitri, tidak pernah bisa dilepaskan dari relasi mangsa - pemangsa sebagaimana dijelaskan di atas. Diakui atau tidak, pungli telah mendegradasi kehidupan kaum buruh di Indonesia.


2.2.      Paramida Pengorbanan

Jujur harus diakui, tidak semua pemimpin korporasi memandang penting kesejahteraan buruh. Kita masih harus membubuhkan catatan kritis terhadap orientasi para pemimpin korporasi yang hanya mengedapankan pencapaian keuntungan berskala besar. Inilah pemimpin korporasi yang berpijak pada cara pandang miopik, lantaran hanya memandang buruh berfungsi sebagai faktor produksi. Buruh pun diperas untuk keperluan akumulasi kapital. Pemimpin korporasi dengan tipologi ini meraup nilai lebih-meminjam istilah Karl Marx dengan memaksa buruh untuk tidak mendapatkan kesejahteraan. Misalnya, pungli yang diorkestrasi aparat negara memperparah kenyataan buruk ini.

Tanpa adanya pungli sekalipun, kaum buruh tersuruk di dasar piramida pengorbanan. Korporasi, bagaimana, dikonstruksi dengan mengacu pada pola-pola relasi vertikal mengerucut ke atas, dan merefleksikan adanya diferensiasi kepentingan. Lapisan bawah korporasi adalah Sumber Daya Manusia (SDM) yang mengecap rasio terendah keuntungan korporasi. Mereka adalah buruh atau karyawan yang kedudukannya dipandang kurang signifikan dibandingkan manajer dan pimpinan korporasi. Tingginya jumlah pengangguran yang berburu pekerjaan, justru memungkinkan terciptanya lapisan dasar piramida pengorbanan. Maka, tidak mengherankan jika pendapatan manajer dan pimpinan korporasi bisa 30 kali lipat hingga 50 kali lipat di atas pendapatan buruh. Korporasi dalam potret piramida pengorbanan lalu dengan mudahnya dirasakan sebagai sumber timbulnya ketidakadilan ekonomi.

Pungli aparat negara justru kian memperberat beban penderitaan kaum buruh. Langsung maupun tidak lansung, konstruk piramida pengorbanan disesaki oleh faktor eksternalitas korporasi. Sehingga, pada lapisan terbawah piramida pengorbanan terbentang kehadiran kaum buruh dengan rasio pengorbanan paling besar. Pada level tengah piramida pengorbanan, terdapat manajer dan pimpinan perusahaan. Sementara pada level puncak piramida, bertengger aparat negara. Sekalipun tampak abstrak, orientasi yang terpilih pada puncak piramida merupakan sebab paling fundamental timbulnya masalah perburuhan. Inilah eksponen parasit dalam piramida, yang meraih keuntungan melalui jalan penghisapan.
Maka, sampai kapanpun, buruh terus-menerus dihantui mimpi buruk rendahnya bargaining position.Sejauh tidak ada kedigdayaan membongkar piramida pengorbanan yang mengabadikan kultur imperialisme aparat negara atas korporasi
Hingga saat ini, hari buruh di Indonesia tidak berarti merayakan kemerdekaan buruh, tapi masih sebagai bentuk perjuangan para buruh melawan kapitalisme dan pemerkosaan hak asasi yang tetap saja terjadi. Kapan Indonesia sebagai negara bisa mencerminkan arti murni sebuah kemerdekaan? Sudah menjadi nasib bahwa hidup sebagai rakyat jelata di Indonesia harus siap menderita.

Pada zaman penjajahan dulu, bangsa Indonesia disibukkan dengan perjuangan melawan penjajah asing. Rakyat kecil dan pemerintah bersatu padu mempertahankan negaranya demi sebuah kemerdekaan. Tidak sedikit pula para pahlawan yang justru lahir dari kaum papa. Mereka bahkan rela mati demi bangsa dan negaranya.

Perjuangan seperti itu sudah punah saat ini. Nilai kemerdekaan mengalami degradasi yang signifikan. Setiap orang mengartikan kemerdekaan dengan caranya sendiri-sendiri dan kerap kali berujung pada hal yang mementingkan kepentingan pribadi atau golongan. Dengan rusaknya tatanan perekonomian bangsa Indonesia seiring maraknya kehidupan mondialisme ini, mereka yang miskin akan tetap miskin dan mereka yang kaya akan tetap kaya. Belum ada perbaikan sistem perekonomian yang esensial, apalagi yang berpihak pada kesejahteraan rakyat. Pada akhirnya, hanya bisa menyalahkan krisis global.

Jika diteliti, bangsa Indonesia sepertinya selalu mengalami krisis ekonomi yang tak berkesudahan. Pemilu 2009 yang semestinya menjadi salah satu bentuk perjuangan rakyat untuk mendapat kehidupan yang lebih baik selama 5 tahun mendatang juga masih belum jelas hasilnya. Rakyat Indonesia yang mayoritas adalah orang miskin hanya menjadi sumber mata pencarian para elite partai. Alih-alih berjuang untuk mengentaskan kemiskinan, para elite partai hanya berusaha keras mengejar kedudukan tertinggi demi kekuasaan dan uang. Ketika menghadapi kendala, para partai justru sibuk berperang sendiri dan seperti lupa bahwa sebenarnya keberadaan mereka di “atas” sana dari, untuk, dan oleh rakyat.

Tapi itulah Indonesia, negara yang tidak siap maju dan hanya puas dengan julukan “negara berkembang”. Hari buruh sepertinya masih tetap menjadi sekadar memorial, bukan selebrasi. Bahkan masih menjadi salah satu bentuk perjuangan buruh untuk menyuarakan hati mereka. Bukan perayaan kebebasan buruh yang akan terjadi pada Hari Buruh, melainkan sejumlah demo buruh yang terjadi di beberapa kota-kota di Indonesia. Demo yang masih menuntut perbaikan kehidupan buruh serta kebebasan hak asasinya. Maklum, buruh biasanya rakyat jelata yang miskin.

Bangsa Indonesia memang tidak lagi berjuang melawan musuh dari negara lain. Bahkan Belanda yang menjajah bangsa ini paling lama justru sudah lama menjalin kerjasama dengan Indonesia. Saat ini, pergulatan bangsa Indonesia lebih mengarah pada relasi antara penguasa dan rakyat yang sering kali tidak harmonis. Sama halnya dengan pengusaha dan buruh. Perjuangan itu masih tetap berupa usaha perlawanan demi bertahan hidup, hanya saja bentuknya berbeda.

Hari Buruh adalah bentuk konkret dari elan perjuangan kaum pekerja kecil yang percaya akan adanya hari esok yang lebih baik. Dan melalui teriakan-teriakan mereka, setidaknya kembali mengingatkan para pejabat dan elite partai yang sibuk dengan kepentingannya masing-masing bahwa mereka akan selalu berjuang sampai mereka mendapatkan kemerdekaannya


2.3.      Upah Buruh

Upah murah, ketidakpastian kerja (lewat sistem kontrak dan outsourcing serta PHK), dan ketiadaan jaminan sosial kerja merupakan masalah yang tiap harinya bersentuhan dengan buruh Indonesia. Masalah ini berhubungan erat dengan masalah-masalah lain yang ada pada rakyat mayoritas. Seluruh rakyat berhadapan dengan kebutuhan hidup yang tinggi, ketiadaan lapangan pekerjaan, mahalnya biaya kesehatan dan pendidikan, dll, semakin menyebabkan buruh maupun rakyat mayoritas sulit untuk hidup sejahtera, apalagi untuk mengembangkan aspek-aspek kemanusiaannya (belajar, berkesenian, bersosial) sebagai manusia.

Pada saat yang sama, ada sebagian kecil masyarakat yang hidup mewah, berkecukupan bahkan tidak perlu mengeluarkan keringat setetes pun, uang terus mengalir ke brankas mereka. Mereka adalah para pemilik perusahaan/pemilik modal, dimana perusahaannya sendiri seringkali bahkan bukan dijalankan oleh dirinya, melainkan oleh para direktur dan manajer yang diupah tinggi. Mereka juga menguasai bank-bank, pertambangan, industri (pabrik dan jasa), menguasai industri media (tv dan Koran), dan menguasai seluruh barang-barang konsumsi dan kebutuhan hidup sosial manusia lainnya.

Penggolongan masyarakat tersebut (golongan mayoritas: rakyat bekerja keras-hidup sulit & golongan minoritas: para pemilik modal, tidak bekerja-hidup mewah, dan menguasai dan mengatur kehidupan masyarakat) merupakan hasil dari pembagian masyarakat dalam sistem ekonomi kapitalisme. Kapitalisme, sebuah sistem ekonomi dimana kapital (modal, kekayaan) dan pemiliknya menjadi “Tuhan-Tuhan” baru yang diciptakan dan menjadi penguasa dunia saat ini. Seluruh kebutuhan sosial manusia/masyarakat (makan, pakaian, rumah, sekolah, kesehatan, transportasi, kesenian, bahkan agama, dsb.) diubah menjadi barang dagangan dan dikuasai oleh para pemilik modal. Yang tidak mampu membeli tidak bisa mendapatkannya. Bahkan seluruh nilai-nilai luhur budaya (solidaritas, saling berbagi, tolong menolong dan sebagainya) dihancurkan dan digantikan dengan nilai-nilai baru yang semuanya diukur dengan uang, harta dan kekayaan (menjadi barang dagangan yang harus dibeli). Jadi pembagian kelas yang terjadi di masyarakat bukanlah karena nasib yang ‘memang begitu adanya’, bukan juga karena dunia sudah dibagi menjadi dua kelas sebagaimana adanya siang-malam, baik-buruk, kaya-miskin, dst, melainkan terbentuk dari sistem ekonomi yang dijalankan.

Sistem ekonomi-politik kapitalisme dilahirkan, dibentuk, dan lalu dipertahankan oleh pihak-pihak yang diuntungkan oleh sistem itu, yaitu para pemilik kapital/modal. Sebagai contoh para pengusaha/pemilik modal yang bersikeras mempertahankan sistem kerja kontrak dan outsourcing atau menolak upah layak, ini bukan karena mereka tidak tahu kalau buruh tidak sejahtera, tapi karena hanya dengan cara seperti inilah mereka dapat menumpuk keuntungannya dan pada akhirnya dapat mempertahankan sistem kekuasaan modal ini berjalan.

Di sisi lain kelas buruh berkepentingan untuk mendapatkan kesejahteraan. Kepentingan ini jelas bertentangan dengan kepentingan para pemilik modal. Perbedaan kepentingan (antara buruh dan pengusaha) ini merupakan gambaran paling sederhana dan paling jelas bagaimana dalam suatu masyarakat terdapat golongan-golongan yang saling bertentangan kepentingannya, baik secara ekonomi, maupun secara politik. Penggolongan masyarakat dalam ekonomi-politik inilah yang disebut sebagai “kelas-kelas” . Dimana dalam sistem ekonomi kapitalisme, alat-alat produksi (pabrik, tanah, teknologi dll), yang dibutuhkan  untuk menghasilkan barang-barang kebutuhan sosial masyarakat justru dikuasai oleh pribadi-pribadi, atau segelintir orang dan bukan menjadi milik sosial (Negara rakyat).

Lebih hebatnya lagi, para pemilik modal ini kemudian juga aktif dalam politik, mendirikan partai politiknya ataupun menjadi penyokong utama partai-partai politik ini. Akhir dari semua aktivitas politik ini berikutnya mereka pun dapat menguasai parlemen (DPR/DPRD), dan menguasai pemerintahan. Dengan menguasai pemerintahan dan parlemen, maka seluruh kebijakan yang dihasilkan oleh pemerintah dan parlemen (DPR/DPRD) dapat dipastikan merupakan cermin dari kepentingan dari para pemilik modal ini. Ditambah lagi, agar sukses dijalankannya kebijakan ini, perangkat-perangkat dukungan pun dipersiapkan: dari mulai kampanye palsu (alasan kenapa kebijakan tersebut yang diambil), hingga perangkat kekerasan negara (polisi, tentara, pengadilan dan penjara). Sederhananya, negara pun akhirnya dikuasai oleh mereka.

2.4.      Perjuangan Kelas, Bentuk Perjuangan dan Organisasinya

Bagi kita yang sudah pernah dan terbiasa berjuang menuntut kesejahteraan di sebuah perusahaan, atau di berbagai aksi kawasan atau aksi mogok nasional sudah biasa pula bagi kita melihat keberpihakan negara (pemerintah, aparat, pengadilan, dll) terhadap klas pengusaha/pemilik modal, sebagaimana penjelasan diatas. Tetapi pernyataan ini bukanlah berarti bahwa mayoritas kelas buruh sudah memahami bahwa perjuangan kelas buruh juga harus melakukan perjuangan untuk merebut kekuasaan negara yang dikuasai oleh kelas pemilik modal.

Gerakan kaum buruh  yang dipimpin oleh serikat buruh, biasanya hanya menekankan tentang perjuangan ekonomi, yaitu perjuangan yang hanya menuntut sebagian isu atau sebagian tuntutan kelas buruh. Mayoritas kelas buruh pun masih belum paham bahwa akar dari penindasan yang dialaminya saat ini akarnya bersumber dari sistem ekonomi kapitalisme yang dijalankan. Untuk memahami ini, kita harus memahami soal-soal ekonomi politik, dan sejarah perjuangan kelas.

Bahwa dalam setiap masyarakat berkelas, seperti halnya dalam masyarakat kapitalisme, pertentangan klas adalah sesuatu yang tak dapat dihindari. Sejak kapitalisme lahir (lebih dari 300 tahun lalu) pertentangan antara buruh dan pengusaha telah dimulai. Dari perlawanan perlawanan sendiri-sendiri, hingga akhirnya membangun perlawanan bersama dalam sebuah organisasi sekerja yang dikenal dengan nama serikat buruh. Biasanya penindasan di tempat kerja dan “perjuangan ekonomi” di tempat kerja (perbaikan upah, kondisi kerja, dll) yang dilakukan oleh buruh di masing-masing perusahaan menjadi motor penggerak lahirnya sebuah serikat buruh di masing-masing perusahaaan. Kesadaran bahwa, semakin bersatu buruh akan menjadi lebih kuat, dan adanya kesadaran sebagai sesama kelas buruh,  mendorong terbangunnya persatuan-persatuan sesama buruh. Ini mendorong terbentuknya penyatuan serikat-serikat buruh sektoral (sering dikenal dengan federasi), atau persatuan serikat buruh lokal/territorial, atau gabugannya menjadi konfederasi serikat buruh. Bahkan persatuannya terjadi hingga antar negara (federasi/konfederasi  internasional).










BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Oleh karena itu, perjuangan ekonomi atau perjuangan menuntut kesejahteraan yang telah dilakukan oleh gerakan serika butuh haruslah dikembangkan dan menjadi bagian dari sebuah perjuangan politik. Yaitu perjuangan untuk melancarkan perebutan kekuasaan politik: pemerintahan, parlemen, dan akhirnya perebutan siapa yang menguasai negara. Menggantikan penguasa negara yang sebelumnya dikuasai oleh kelas pemilik modal, dengan DIRINYA SENDIRI (kelas buruh dan rakyat mayoritas lainnya). Dititik inilah, sebenarnya kaum buruh (dan rakyat pekerja lainnya) mulai membuat perhitungan sejati dengan kelas penindasnya selama ini.
Dengan dikuasainya negara oleh buruh dan rakyat pekerja, maka berbagai kebijakan yang dihasilkan akan berkebalikan dengan situasi saat ini. Sederhananya saja, misalnya ketika negara dikuasai oleh buruh maka upah buruh akan dinaikkan, tidak boleh ada PHK, jam kerja dikurangi tanpa pengurangan upah sehingga semua orang mendapatkan pekerjaan, sistem kerja kontrak dan outsourcing akan dihapuskan, seluruh kebutuhan-kebutuhan sosial (pendidikan sampai perguruan tinggi, pension, kesehatan: baik pencegahan maupun pengobatan, perumahan, perawatan anak, taman bacaan, internet dan sebagainya) yang semula menjadi barang dagangan (harus dibeli) dirubah menjadi hak yang harus dapat dinikmati oleh semua orang tanpa mengeluarkan uang sepeserpun. Seluruh sumber-sumber kekayaan alam (migas, tambang, hasil hutan dan laut) dan sektor vital untuk rakyat banyak akan menjadi milik negara rakyat pekerja. Pengusaha yang menolak dan melakukan perlawanan seperti lock-out misalnya, bukan saja berhadapan dengan negara melainkan akan berhadapan dengan rakyat. Kaum buruh pastinya, akan siap menjalankan perusahaan-perusahaan yang tidak mau dijalankan pemilik modal. Akhirnya sistem ekonomi pun secara bertahap diubah menjadi sistem ekonomi yang lebih berkeadilan sosial, berpihak ke rakyat banyak dan bukan ke segelintir orang. Sistem ini sering disebut dengan sistem sosialisme, (yang sebenarnya jika membaca sejarah perjuangan kemerdekaan dan konstitusi UUD 45 kita, sistem inilah yang menjadi cita-cita kemerdekaan: mensejahterahkan kehidupan rakyat, dan membangun keadilan sosial bagi seluruh rakyat). Semua hal yang digambarkan diatas sebenarnya sering digaungkan dengan slogan yel-yel; “BURUH BERKUASA, RAKYAT SEJAHTERA!”




























BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

4.1. Daftar pustaka

·