PERJUANGAN
BURUH MENUJU PERUBAHAN
TUGAS
SOFTSKILL PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
“PENDAHULUAN”
Nama : Pramita
Prasetyaningrum
NPM : 14209386
Jurusan
: Manajemen
Dosen :
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS GUNADARMA
JAKARTA
2013
BAB
I
PENDAHULUAN
Pada dasarnya, buruh, Pekerja, Tenaga Kerja maupun
karyawan adalah sama. namun dalam kultur Indonesia, "Buruh"
berkonotasi sebagai pekerja rendahan, hina, kasaran dan sebagainya. sedangkan
pekerja, Tenaga kerja dan Karyawan adalah sebutan untuk buruh yang lebih
tinggi, dan diberikan cenderung kepada buruh yang tidak memakai otot tapi otak
dalam melakukan kerja. akan tetapi pada intinya sebenarnya keempat kata ini
sama mempunyai arti satu yaitu Pekerja. hal ini terutama merujuk pada
Undang-undang Ketenagakerjaan, yang berlaku umum untuk seluruh pekerja maupun
pengusaha di Indonesia.
Buruh dibagi atas 2 klasifikasi besar:
·
Buruh profesional -
biasa disebut buruh kerah putih, menggunakan tenaga otak dalam bekerja
·
Buruh kasar - biasa disebut
buruh kerah biru, menggunakan tenaga otot dalam bekerja
Buruh
pada saat ini di mata masyarakat awam sama saja dengan pekerja, atau
tenaga kerja. Padahal dalam konteks sifat dasar pengertian dan
terminologidiatas sangat jauh berbeda. Secara teori, dalam kontek kepentingan,
didalam suatu perusahaan terdapat 2 (dua) kelompok yaitu kelompok pemilik
modal (owner) dan kelompok buruh, yaitu orang-orang yang diperintah dan dipekerjanan
yang berfungsi sebagai salah satu komponen dalam proses produksi.
Dalam
teori Karl Marx tentang nilai lebih, disebutkan bahwa kelompok yang memiliki
dan menikmati nilai lebih disebut sebagai majikan dan kelompok yang terlibat
dalam proses penciptaan nilai lebih itudisebut Buruh. Dari segi kepemilikan
kapital dan aset-aset produksi, dapat kita tarik benang merah, bahwa
buruh tidak terlibat sedikitpun dalam kepemilian asset, sedangkan majikan
adalah yang mempunyai kepemilikan aset. Dengan demikian seorang
manajer atau direktur disebuah perusahaan sebetulnya adalah buruh walaupun
mereka mempunyai embel-embel gelar keprofesionalan.
Buruh berbeda dengan pekerja. Pengertian pekerja lebih
menunjuk pada proses dan bersifat mandiri. Bisa saja pekerja itu bekerja untuk
dirinya dan menggaji dirinya sendiri
pula. Contoh pekerja ini antara lain Petani, nelayan, dokter yang dalam
prosesnya pekerja memperoleh nilai
tambah dari proses penciptaan nilai tambah yang mereka buats endiri. Istilah
tenaga kerja di populerkan oleh pemerintah orde baru, untuk menggantikata
buruh yang mereka anggap kekiri-kirian dan radikal.
Untuk memperoleh pengertian yang jelas tentang bias atau
tidak nya seseorang yang bukan pekerja / buruh untuk menjadi anggota atau
pemimpin. Dalam Serikat Pekerja/Buruh
maka harus dilihat batasan istilah pekerja/buruh dan Serikat Pekerja/Buruh dalam
peraturan perundang-undangan kita. Batasan istilah buruh/pekerja diatur secara
jelas dalam Pasal 1 angka 2 UU Nomor 13Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang
berbunyi:
” Pekerja/buruh adalah setiap orang
yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain
BAB
II
PEMBAHASAN
Membentuk Serikat buruh adalah bagian dari hak buruh
yang tertuang dalam undang-undang ketenagakerjaan, ketika suara hati para buruh
tersumbat oleh sistem manajemen imperialis kapitalis, terkerangkeng dalam
kurungan serikat buruh yang semu penuh kemunapikan. Buruh terpuruk mengelus
dada, disinilah Serikat Buruh sejati dinanti.
Serikat Buruh yang semu hanya bekerja untuk
keuntungan pribadinya, dengan nama dan lambang organisasi sekedar simbolisasi
semata, tanpa implementasi aksi yang pasti, yaitu berjuang atas nama buruh,
melawan tirani manajemen kapitalis imperialis penindas.
Ketika Buruh berteriak dengan suara lantang,
menyuarakan suara hatinya yang terhimpit beban ketidak adilan, maka serikat
buruh yang semu bekerja seperti polisi intel mencari mangsa, setelah itu
terdengar buruh-buruh yang suaranya vokal di Pehaka. Dengan form mengundurkan
diri tanpa paksaan.
Serikat buruh seperti ini biasanya hanya dipasang
sebagai syarat pelengkap, bumbu pemanis dan tameng penutup kebijakan manajemen
cerdas yang menindas.
Jika Serikat buruh yang anda ikuti seperti itu
tinggalkanlah, Serikat buruh semua hadir hanya sebagai benalu berjaket
simbolisasi serikat pekerja, dalam tindakannya bekerja sebagai serikat
pengusaha yang menipu, menggiring anda jadi buruh manut dan berlutut, takut,
bermental patalistik ( menyerah pasrah dg keadaan buruk tanpa usaha ). Padahal
muka bumi ini luas.
Kondisi buruk ini diperparah oleh para buruh
penjilat, yang mencari popularitas dan kedudukan, atau sekedar mempertahankan
jabatan, atas nama jabatan ia bertindak semena-mena, ia tidak sadar jabatan itu
sementara, ia lupa hidup itu sementara.
Persoalan
besar yang mengharu-biru perburuhan di Tanah Air, tidak selalu bertitik tolak
dari Hubungan-hubungan eksploitatif buruh oleh majikan. Disimak sepintas lalu
pergolakan kaum buruh menuntut kesejahteraan bermula dari tidak adanya
“pertobatan” kalangan majikan. Karena itu pula, sang majikan tampak mencolok
sebagai aktor antagonis yang tidak pernah merasa bersalah tatkala
mengeksploitasi buruh. Potret majikan demikian itu tampak terang benderang oleh
bombardir pernyataan tokoh-tokoh buruh nasional. Tetapi, dalam kenyataan
sesungguhnya, masalah perburuhan tidak selinear itu. Problema perburuhan tidak
melulu dihentikan oleh distorsi secara vis-Ã -vis buruh versus majikan. Manakala
ditilik secara saksama, ada sementara korporasi yang mengusung cita-cita
menyejahterakan buruh. Hanya saja, cita-cita tersebut kandas oleh terlampau
kuatnya tantangan yang datang dari lingkup eksternal korporasi.
Bagi yang
berdiri di luar gelanggang konflik perburuhan, tidak terelakan jika kemudian
terjebak ke dalam simplifikasi pemahaman. Konflik perburuhan dimengerti dalam
spektrum sempit korporasi. Konflik perburuhan pun cenderung diasumsikan sebagai
masalah internal korporasi. Padahal, korporasi di Indonesia bukanlah realitas
atomistik, dan karena itu rentan dari pengaruh eksternalitas. Pola kerja
korporasi justru tidak steril dari pengaruh faktor-faktor eksternal yang
diskonfiguratif (baca:merusak). Dengan demikian, korporasi beroperasi dengan
memikul beban eksternalitas yang diskonfiguratif. Tidak mengherankan jika
eksternalitas itu malah berkorelasi negatif dengan keniscayaan terciptanya
keunggulan kompetitif korporasi.
2.1. Mangsa dan Pemangsa
Fakta menunjukan, entitas-entitas bisnis di berbagai penjuru,
Nusantara merupakan domain terjadinya pemerasan oleh aparat Negara. Rupanya, telah
sedemikian rupa muncul persepsi umum di kalangan aparat negara, bahwa
entitas-entitas bisnis merupakan sumber finansial yang subur. Sejalan dengan
orientasi feodalistik dalam menggerakkan roda kekuasaan di berbagai tingkatan
tata kelola negara, sumber finansial tersebut diskenariokan agar sewaktu-waktu
bisa ”diotak-atik”. Maka, dengan berbagai dalih, aparat negara tidak
habis-habisnya memberlakukan Pungutan Liar (Pungli), dengan entitas-entitas
bisnis sebagai korbannya. Oknum pemerintahan, terus-menerus mencari celah untuk
memosisikan diri sebagai obyek penderita aksi-aksi pungli. Situasi menjelang
Idul Fitri atau saat-saat menjelang peringatan HUT Kemerdekaan merupakan
peluang emas bagi oknum aparat negara untuk melakukan pungli apa yang kemudian
penting dicatat demikian ialah hubungan mangasa dan pemangsa. Dari generasi ke
generasi, aparat negera memosisikan diri sebagai pemangsa. Sementara, korporasi
- korporasi disudutkan sebagai mangsa. Apa yang sejak awal dekade 1980-an
ditengarai sebagai ekonomi biaya tinggi (high-cost economy) sesungguhnya tidak
bisa dilepaskan dari hubungan mangsa dan pemangsa itu. Tragisnya lagi, dana
yang berhasil dikeruk dari korporasi mengalir ke kantong - kantong pribadi
aparat negara. Begitulah hingga kekuasaan politik di Indonesia berada di bawah
pengendalian Orde Reformasi, relasi mangsa - pemangsa itu tidak dapat
diamputasi. Sebagai bangsa, kita terjebak ke dalam karma penuh kutukan. Pungli
kemudian menstimuli lahirnya habitus yang menggeser hakikat aparat negara dari
semula pamong praja untuk kemudian merosot sakadar menjadi pangreh praja.
Bangsa ini lantas diperhadapkan dengan masalah besar premanisme berkedok aparat
negara.
Pada titik di mana hubungan mangsa dan pemangsa
menggelembungkan biaya produksi ekonomi, korporasi - korporasi lalu harus
mengambil sebuah penyikapan yang tidak manusiawi. Budget korporasi yang secara
prinsipil dimaksudkan menyejahterakan buruh, pada akhirnya digerus untuk
melayani aparat negara yang bangga bermahkotakan pungli. Munculnya berbagai konflik
perburuhan setiap tahun yang dipicu tidak terbayarkannya Tunjangan Hari Raya
(THR) menjelang perhelatan Idul Fitri, tidak pernah bisa dilepaskan dari relasi
mangsa - pemangsa sebagaimana dijelaskan di atas. Diakui atau tidak, pungli
telah mendegradasi kehidupan kaum buruh di Indonesia.
2.2. Paramida Pengorbanan
Jujur
harus diakui, tidak semua pemimpin korporasi memandang penting kesejahteraan
buruh. Kita masih harus membubuhkan catatan kritis terhadap orientasi para
pemimpin korporasi yang hanya mengedapankan pencapaian keuntungan berskala
besar. Inilah pemimpin korporasi yang berpijak pada cara pandang miopik,
lantaran hanya memandang buruh berfungsi sebagai faktor produksi. Buruh pun
diperas untuk keperluan akumulasi kapital. Pemimpin korporasi dengan tipologi
ini meraup nilai lebih-meminjam istilah Karl Marx dengan memaksa buruh untuk
tidak mendapatkan kesejahteraan. Misalnya, pungli yang diorkestrasi aparat
negara memperparah kenyataan buruk ini.
Tanpa
adanya pungli sekalipun, kaum buruh tersuruk di dasar piramida pengorbanan.
Korporasi, bagaimana, dikonstruksi dengan mengacu pada pola-pola relasi
vertikal mengerucut ke atas, dan merefleksikan adanya diferensiasi kepentingan.
Lapisan bawah korporasi adalah Sumber Daya Manusia (SDM) yang mengecap rasio
terendah keuntungan korporasi. Mereka adalah buruh atau karyawan yang
kedudukannya dipandang kurang signifikan dibandingkan manajer dan pimpinan
korporasi. Tingginya jumlah pengangguran yang berburu pekerjaan, justru
memungkinkan terciptanya lapisan dasar piramida pengorbanan. Maka, tidak
mengherankan jika pendapatan manajer dan pimpinan korporasi bisa 30 kali lipat
hingga 50 kali lipat di atas pendapatan buruh. Korporasi dalam potret piramida
pengorbanan lalu dengan mudahnya dirasakan sebagai sumber timbulnya
ketidakadilan ekonomi.
Pungli
aparat negara justru kian memperberat beban penderitaan kaum buruh. Langsung
maupun tidak lansung, konstruk piramida pengorbanan disesaki oleh faktor
eksternalitas korporasi. Sehingga, pada lapisan terbawah piramida pengorbanan
terbentang kehadiran kaum buruh dengan rasio pengorbanan paling besar. Pada
level tengah piramida pengorbanan, terdapat manajer dan pimpinan perusahaan.
Sementara pada level puncak piramida, bertengger aparat negara. Sekalipun
tampak abstrak, orientasi yang terpilih pada puncak piramida merupakan sebab
paling fundamental timbulnya masalah perburuhan. Inilah eksponen parasit dalam
piramida, yang meraih keuntungan melalui jalan penghisapan.
Maka, sampai
kapanpun, buruh terus-menerus dihantui mimpi buruk rendahnya bargaining
position.Sejauh tidak ada kedigdayaan membongkar piramida pengorbanan yang
mengabadikan kultur imperialisme aparat negara atas korporasi
Hingga saat ini, hari buruh di Indonesia tidak
berarti merayakan kemerdekaan buruh, tapi masih sebagai bentuk perjuangan para
buruh melawan kapitalisme dan pemerkosaan hak asasi yang tetap saja terjadi.
Kapan Indonesia sebagai negara bisa mencerminkan arti murni sebuah kemerdekaan?
Sudah menjadi nasib bahwa hidup sebagai rakyat jelata di Indonesia harus siap
menderita.
Pada zaman penjajahan dulu, bangsa Indonesia
disibukkan dengan perjuangan melawan penjajah asing. Rakyat kecil dan
pemerintah bersatu padu mempertahankan negaranya demi sebuah kemerdekaan. Tidak
sedikit pula para pahlawan yang justru lahir dari kaum papa. Mereka bahkan rela
mati demi bangsa dan negaranya.
Perjuangan
seperti itu sudah punah saat ini. Nilai kemerdekaan mengalami degradasi yang
signifikan. Setiap orang mengartikan kemerdekaan dengan caranya sendiri-sendiri
dan kerap kali berujung pada hal yang mementingkan kepentingan pribadi atau
golongan. Dengan rusaknya tatanan perekonomian bangsa Indonesia seiring
maraknya kehidupan mondialisme ini, mereka yang miskin akan tetap miskin dan
mereka yang kaya akan tetap kaya. Belum ada perbaikan sistem perekonomian yang
esensial, apalagi yang berpihak pada kesejahteraan rakyat. Pada akhirnya, hanya
bisa menyalahkan krisis global.
Jika diteliti, bangsa Indonesia sepertinya selalu
mengalami krisis ekonomi yang tak berkesudahan. Pemilu 2009 yang semestinya
menjadi salah satu bentuk perjuangan rakyat untuk mendapat kehidupan yang lebih
baik selama 5 tahun mendatang juga masih belum jelas hasilnya. Rakyat Indonesia
yang mayoritas adalah orang miskin hanya menjadi sumber mata pencarian para
elite partai. Alih-alih berjuang untuk mengentaskan kemiskinan, para elite
partai hanya berusaha keras mengejar kedudukan tertinggi demi kekuasaan dan
uang. Ketika menghadapi kendala, para partai justru sibuk berperang sendiri dan
seperti lupa bahwa sebenarnya keberadaan mereka di “atas” sana dari, untuk, dan
oleh rakyat.
Tapi itulah Indonesia, negara yang tidak siap maju
dan hanya puas dengan julukan “negara berkembang”. Hari buruh sepertinya masih
tetap menjadi sekadar memorial, bukan selebrasi. Bahkan masih menjadi salah
satu bentuk perjuangan buruh untuk menyuarakan hati mereka. Bukan perayaan
kebebasan buruh yang akan terjadi pada Hari Buruh, melainkan sejumlah demo
buruh yang terjadi di beberapa kota-kota di Indonesia. Demo yang masih menuntut
perbaikan kehidupan buruh serta kebebasan hak asasinya. Maklum, buruh biasanya
rakyat jelata yang miskin.
Bangsa Indonesia memang tidak lagi berjuang melawan
musuh dari negara lain. Bahkan Belanda yang menjajah bangsa ini paling lama
justru sudah lama menjalin kerjasama dengan Indonesia. Saat ini, pergulatan
bangsa Indonesia lebih mengarah pada relasi antara penguasa dan rakyat yang
sering kali tidak harmonis. Sama halnya dengan pengusaha dan buruh. Perjuangan
itu masih tetap berupa usaha perlawanan demi bertahan hidup, hanya saja
bentuknya berbeda.
Hari Buruh adalah bentuk konkret dari elan
perjuangan kaum pekerja kecil yang percaya akan adanya hari esok yang lebih
baik. Dan melalui teriakan-teriakan mereka, setidaknya kembali mengingatkan
para pejabat dan elite partai yang sibuk dengan kepentingannya masing-masing
bahwa mereka akan selalu berjuang sampai mereka mendapatkan kemerdekaannya
2.3. Upah Buruh
Upah murah, ketidakpastian kerja (lewat sistem
kontrak dan outsourcing serta PHK), dan ketiadaan jaminan sosial kerja
merupakan masalah yang tiap harinya bersentuhan dengan buruh Indonesia. Masalah
ini berhubungan erat dengan masalah-masalah lain yang ada pada rakyat
mayoritas. Seluruh rakyat berhadapan dengan kebutuhan hidup yang tinggi,
ketiadaan lapangan pekerjaan, mahalnya biaya kesehatan dan pendidikan, dll,
semakin menyebabkan buruh maupun rakyat mayoritas sulit untuk hidup sejahtera,
apalagi untuk mengembangkan aspek-aspek kemanusiaannya (belajar, berkesenian,
bersosial) sebagai manusia.
Pada saat yang sama, ada sebagian kecil masyarakat
yang hidup mewah, berkecukupan bahkan tidak perlu mengeluarkan keringat setetes
pun, uang terus mengalir ke brankas mereka. Mereka adalah para pemilik
perusahaan/pemilik modal, dimana perusahaannya sendiri seringkali bahkan bukan
dijalankan oleh dirinya, melainkan oleh para direktur dan manajer yang diupah
tinggi. Mereka juga menguasai bank-bank, pertambangan, industri (pabrik dan
jasa), menguasai industri media (tv dan Koran), dan menguasai seluruh
barang-barang konsumsi dan kebutuhan hidup sosial manusia lainnya.
Penggolongan masyarakat tersebut (golongan
mayoritas: rakyat bekerja keras-hidup sulit & golongan minoritas: para
pemilik modal, tidak bekerja-hidup mewah, dan menguasai dan mengatur kehidupan
masyarakat) merupakan hasil dari pembagian masyarakat dalam sistem ekonomi
kapitalisme. Kapitalisme, sebuah sistem ekonomi dimana kapital (modal,
kekayaan) dan pemiliknya menjadi “Tuhan-Tuhan” baru yang diciptakan dan menjadi
penguasa dunia saat ini. Seluruh kebutuhan sosial manusia/masyarakat (makan,
pakaian, rumah, sekolah, kesehatan, transportasi, kesenian, bahkan agama, dsb.)
diubah menjadi barang dagangan dan dikuasai oleh para pemilik modal. Yang tidak
mampu membeli tidak bisa mendapatkannya. Bahkan seluruh nilai-nilai luhur
budaya (solidaritas, saling berbagi, tolong menolong dan sebagainya)
dihancurkan dan digantikan dengan nilai-nilai baru yang semuanya diukur dengan
uang, harta dan kekayaan (menjadi barang dagangan yang harus dibeli). Jadi
pembagian kelas yang terjadi di masyarakat bukanlah karena nasib yang ‘memang
begitu adanya’, bukan juga karena dunia sudah dibagi menjadi dua kelas
sebagaimana adanya siang-malam, baik-buruk, kaya-miskin, dst, melainkan
terbentuk dari sistem ekonomi yang dijalankan.
Sistem ekonomi-politik kapitalisme dilahirkan,
dibentuk, dan lalu dipertahankan oleh pihak-pihak yang diuntungkan oleh sistem
itu, yaitu para pemilik kapital/modal. Sebagai contoh para pengusaha/pemilik
modal yang bersikeras mempertahankan sistem kerja kontrak dan outsourcing atau
menolak upah layak, ini bukan karena mereka tidak tahu kalau buruh tidak
sejahtera, tapi karena hanya dengan cara seperti inilah mereka dapat menumpuk
keuntungannya dan pada akhirnya dapat mempertahankan sistem kekuasaan modal ini
berjalan.
Di sisi lain kelas buruh berkepentingan untuk
mendapatkan kesejahteraan. Kepentingan ini jelas bertentangan dengan
kepentingan para pemilik modal. Perbedaan kepentingan (antara buruh dan
pengusaha) ini merupakan gambaran paling sederhana dan paling jelas bagaimana
dalam suatu masyarakat terdapat golongan-golongan yang saling bertentangan
kepentingannya, baik secara ekonomi, maupun secara politik. Penggolongan
masyarakat dalam ekonomi-politik inilah yang disebut sebagai “kelas-kelas” .
Dimana dalam sistem ekonomi kapitalisme, alat-alat produksi (pabrik, tanah,
teknologi dll), yang dibutuhkan untuk menghasilkan barang-barang
kebutuhan sosial masyarakat justru dikuasai oleh pribadi-pribadi, atau
segelintir orang dan bukan menjadi milik sosial (Negara rakyat).
Lebih hebatnya lagi, para pemilik modal ini kemudian
juga aktif dalam politik, mendirikan partai politiknya ataupun menjadi
penyokong utama partai-partai politik ini. Akhir dari semua aktivitas politik
ini berikutnya mereka pun dapat menguasai parlemen (DPR/DPRD), dan menguasai
pemerintahan. Dengan menguasai pemerintahan dan parlemen, maka seluruh
kebijakan yang dihasilkan oleh pemerintah dan parlemen (DPR/DPRD) dapat
dipastikan merupakan cermin dari kepentingan dari para pemilik modal ini.
Ditambah lagi, agar sukses dijalankannya kebijakan ini, perangkat-perangkat
dukungan pun dipersiapkan: dari mulai kampanye palsu (alasan kenapa kebijakan
tersebut yang diambil), hingga perangkat kekerasan negara (polisi, tentara,
pengadilan dan penjara). Sederhananya, negara pun akhirnya dikuasai oleh
mereka.
2.4. Perjuangan Kelas,
Bentuk Perjuangan dan Organisasinya
Bagi kita yang sudah pernah dan terbiasa berjuang menuntut kesejahteraan
di sebuah perusahaan, atau di berbagai aksi kawasan atau aksi mogok nasional
sudah biasa pula bagi kita melihat keberpihakan negara (pemerintah, aparat,
pengadilan, dll) terhadap klas pengusaha/pemilik modal, sebagaimana penjelasan
diatas. Tetapi pernyataan ini bukanlah berarti bahwa mayoritas kelas buruh
sudah memahami bahwa perjuangan kelas buruh juga harus melakukan perjuangan
untuk merebut kekuasaan negara yang dikuasai oleh kelas pemilik modal.
Gerakan kaum
buruh yang dipimpin oleh serikat buruh, biasanya hanya menekankan tentang
perjuangan ekonomi, yaitu perjuangan yang hanya menuntut sebagian isu atau
sebagian tuntutan kelas buruh. Mayoritas kelas buruh pun masih belum paham
bahwa akar dari penindasan yang dialaminya saat ini akarnya bersumber dari
sistem ekonomi kapitalisme yang dijalankan. Untuk memahami ini, kita harus memahami
soal-soal ekonomi politik, dan sejarah perjuangan kelas.
Bahwa dalam setiap masyarakat berkelas, seperti halnya dalam masyarakat
kapitalisme, pertentangan klas adalah sesuatu yang tak dapat dihindari. Sejak
kapitalisme lahir (lebih dari 300 tahun lalu) pertentangan antara buruh dan
pengusaha telah dimulai. Dari perlawanan perlawanan sendiri-sendiri, hingga
akhirnya membangun perlawanan bersama dalam sebuah organisasi sekerja yang
dikenal dengan nama serikat buruh. Biasanya penindasan di tempat kerja dan
“perjuangan ekonomi” di tempat kerja (perbaikan upah, kondisi kerja, dll) yang
dilakukan oleh buruh di masing-masing perusahaan menjadi motor penggerak
lahirnya sebuah serikat buruh di masing-masing perusahaaan. Kesadaran bahwa,
semakin bersatu buruh akan menjadi lebih kuat, dan adanya kesadaran sebagai
sesama kelas buruh, mendorong terbangunnya persatuan-persatuan sesama
buruh. Ini mendorong terbentuknya penyatuan serikat-serikat buruh sektoral
(sering dikenal dengan federasi), atau persatuan serikat buruh
lokal/territorial, atau gabugannya menjadi konfederasi serikat buruh. Bahkan
persatuannya terjadi hingga antar negara (federasi/konfederasi
internasional).
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Oleh karena itu,
perjuangan ekonomi atau perjuangan menuntut kesejahteraan yang telah dilakukan
oleh gerakan serika butuh haruslah dikembangkan dan menjadi bagian dari sebuah
perjuangan politik. Yaitu perjuangan untuk melancarkan perebutan kekuasaan
politik: pemerintahan, parlemen, dan akhirnya perebutan siapa yang menguasai
negara. Menggantikan penguasa negara yang sebelumnya dikuasai oleh kelas
pemilik modal, dengan DIRINYA SENDIRI (kelas buruh dan rakyat mayoritas
lainnya). Dititik inilah, sebenarnya kaum buruh (dan rakyat pekerja lainnya)
mulai membuat perhitungan sejati dengan kelas penindasnya selama ini.
Dengan
dikuasainya negara oleh buruh dan rakyat pekerja, maka berbagai kebijakan yang
dihasilkan akan berkebalikan dengan situasi saat ini. Sederhananya saja,
misalnya ketika negara dikuasai oleh buruh maka upah buruh akan dinaikkan,
tidak boleh ada PHK, jam kerja dikurangi tanpa pengurangan upah sehingga semua
orang mendapatkan pekerjaan, sistem kerja kontrak dan outsourcing akan
dihapuskan, seluruh kebutuhan-kebutuhan sosial (pendidikan sampai perguruan
tinggi, pension, kesehatan: baik pencegahan maupun pengobatan, perumahan,
perawatan anak, taman bacaan, internet dan sebagainya) yang semula menjadi
barang dagangan (harus dibeli) dirubah menjadi hak yang harus dapat dinikmati
oleh semua orang tanpa mengeluarkan uang sepeserpun. Seluruh sumber-sumber
kekayaan alam (migas, tambang, hasil hutan dan laut) dan sektor vital untuk
rakyat banyak akan menjadi milik negara rakyat pekerja. Pengusaha yang menolak
dan melakukan perlawanan seperti lock-out misalnya, bukan saja
berhadapan dengan negara melainkan akan berhadapan dengan rakyat. Kaum buruh
pastinya, akan siap menjalankan perusahaan-perusahaan yang tidak mau dijalankan
pemilik modal. Akhirnya sistem ekonomi pun secara bertahap diubah menjadi
sistem ekonomi yang lebih berkeadilan sosial, berpihak ke rakyat banyak dan
bukan ke segelintir orang. Sistem ini sering disebut dengan sistem sosialisme,
(yang sebenarnya jika membaca sejarah perjuangan kemerdekaan dan konstitusi UUD
45 kita, sistem inilah yang menjadi cita-cita kemerdekaan: mensejahterahkan
kehidupan rakyat, dan membangun keadilan sosial bagi seluruh rakyat). Semua hal
yang digambarkan diatas sebenarnya sering digaungkan dengan slogan yel-yel;
“BURUH BERKUASA, RAKYAT SEJAHTERA!”
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
4.1. Daftar pustaka
·