KORUPSI
Korupsi (bahasa Latin:
corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan,
memutar balik, menyogok) atau rasuah
adalah tindakan pejabat publik, baik politisi
maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat
dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan
kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan
sepihak
Perkara Korupsi, Kolusi dan nepotisme yang banyak menimpa para
pejabat, baik dari kalangan eksekutif, yudikatif maupun legislatif menunjukkan
tidak hanya mandulnya Undang-undang Nomor 28 tahun 1999, tentang Penyelenggara
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan nepotisme, tetapi juga
semakin tidak tertibnya nilai-nilai kehidupan sosial masyarakat. Kasus korupsi
yang diduga melibatkan para menteri, mantan menteri, gubernur, mantan gubernur,
bupati, mantan bupati dan lain sebagainya menunjukkan bahwa para pejabat negara
yang diharapkan menjadi tauladan bagi masyarakat luas mengenai tertib hukum dan
tertib sosial, ternyata justru mereka yang harus duduk dikursi pesakitan dengan
tuntutan tindak pidana korupsi. Kasus Bulog dan kasus dana non bugeter DKP yang
begitu kusut hanyalah sedikit dari sekian banyak perkara korupsi di negara yang
berupaya mewujudkan good goverment and clean goverment sebagai salah satu
cita-cita reformasi. Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa
berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering
memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan
prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja.
Dampak korupsi dalam bidang ekonomi
Korupsi
juga mempersulit pembangunan ekonomi dan mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan.
Korupsi
juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidak efisienan yang
tinggi. Dalam sektor private, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian
dari pembayaran ilegal,
ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan risiko pembatalan
perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi
mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru
muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk
membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan
inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan "lapangan perniagaan".
Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai
hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.
Korupsi
menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan
mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan
upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek
masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan
lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat
keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga
mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan menambahkan
tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.
Para
pakar ekonomi memberikan pendapat bahwa salah satu faktor keterbelakangan pembangunan ekonomi di Afrika dan Asia, terutama di Afrika,
adalah korupsi yang berbentuk penagihan sewa yang
menyebabkan perpindahan penanaman modal (capital investment) ke luar
negeri, bukannya diinvestasikan ke dalam negeri (maka adanya ejekan yang sering
benar bahwa ada diktator Afrika yang memiliki rekening bank di Swiss). Berbeda sekali
dengan diktator Asia, seperti Soeharto yang sering mengambil satu potongan dari semuanya
(meminta sogok), namun lebih memberikan kondisi untuk pembangunan, melalui
investasi infrastruktur, ketertiban hukum, dan lain-lain. Pakar dari Universitas
Massachussetts memperkirakan dari tahun 1970 sampai 1996, pelarian
modal dari 30 negara sub-Sahara berjumlah US
$187 triliun, melebihi dari jumlah utang luar negeri mereka sendiri. [1] (Hasilnya,
dalam artian pembangunan (atau kurangnya pembangunan) telah dibuatkan modelnya
dalam satu teori oleh ekonomis Mancur Olson). Dalam kasus
Afrika, salah satu faktornya adalah ketidak-stabilan politik, dan juga
kenyataan bahwa pemerintahan baru sering menyegel aset-aset pemerintah lama
yang sering didapat dari korupsi. Ini memberi dorongan bagi para pejabat untuk
menumpuk kekayaan mereka di luar negeri, di luar jangkauan dari ekspropriasi di masa
depan.
Bentuk-bentuk penyalahgunaan
Potret hukum kita tercoreng dengan tingkah
laku aparat penegak hukum yang memalukan. Terbayang kira-kira mau jadi apa
bangsa ini dengan mental aparat yang bobrok. Mempermainkan hukum sepertinya
sudah menjadi hal lumrah. Hukum hanya berpihak pada kalangan berpunya (the
haves).
Dari rekaman hasil sadapan KPK terungkap
mafia hukum sudah demikian mengakar. Ibarat penyakit kanker tak mempan lagi
jika hanya melalui obat resep. Jalan satu-satunya adalah melalui “amputasi”
sebelum menjalar kemana-mana.
Ketua MK Mahfud, MD dalam wawancara TV One,
tidak mempersoalkan upaya Anggodo Wijaya cs melobi kiri kanan atas kasusnya.
Yang jadi persoalan menurutnya terletak pada mental korup para penegak hukum
sehingga demikian mudahnya “dibeli” oleh para makelar kasus.
Inilah yang harus dibersihkan hingga ke
akar-akarnya. Presiden SBY seharusnya bertindak tegas dengan mengganti para
pucuk pimpinan yang tidak becus mengawal jalannya refomasi penegakan hokum.
Reformasi birokrasi khususnya dilembaga
kepolisian dan kejaksaan adalah agenda penting dan tidak bisa ditawar-tawar
lagi. Itu jika kita ingin melihat supremasi hukum ditegakkan. Citra
pemerintahan SBY-Boediono dalam penegakan hukum belum menggembirakan. Bahkan
kalau mau jujur, hampir semua departemen mempunyai penyakit yang sama, korupsi.
Bukan hanya dipusat tapi menjalar sampai ketingkat provinsi dan kabupaten.
Penyebabnya karena fungsi pengawasan internal
tidak berjalan maksimal. Untuk itu pengawasan external serta ditunjang
peraturan perundang-undangan yang jelas sangat dibutuhkan. Dengan sendirinya
menciptakan sebuah pemerintahan yang betul-betul bebas dari korupsi dan berpihak
pada rakyat.
Saat ini lembaga pengawas aparatur negara
(Komnas Waspan) yang diberikan wewenang dalam menjalankan fungsi pengawasan dan
tetap berkoordinasi dengan lembaga atau komisi lainnya misalkan KPK, Komnas
HAM, KPA dan lain-lain. Masyarakat berharap dengan keberadaan komisi ini bisa
mengerem prilaku korup dalam diri aparatur negara.
Sumber:
id.wikipedia.org/wiki/Korupsi